Kaba Cindua Mato

Kaba Cindua Mato merupakan cerita rakyat berwujud kaba, dari Minangkabau. Kata kaba sendiri berasal  dari bahasa Arab, yaitu “akhbar”, yang berarti “berita”.  Kaba mengisahkan petualangan tokoh utamanya, Cindua Mato, dalam membela kebenaran.  Nama lain dari Kaba Cindua Mato adalah Hikayat Tuanku Nan Muda Pagaruyung, dan Sejarah Tuanku Rang Mudo.  Cerita ini kadang dikenal dengan Mitos Bunda Kandung dan Cindua Mato. Kaba Cindua Mato disampaikan dengan menggunakan bahasa berirama sebagaimana layaknya kaba-kaba lain yang disampaikan oleh tukang kaba, yang juga adalah seorang pendendang. Oleh karena itu, dalam setiap versinya, Kaba Cindua Mato ini disampaikan dalam pantun yang terikat dalam aturan baris dan bunyi rima.

Naskah asli Kaba Cindua Mato hampir mustahil ditemukan, karena dalam kaba, tukang kaba yang menyalin maupun membukukannya bebas menyisipkan pendapat atau pandangan pribadinya. Walau demikian, edisi tertua kaba ini tersimpan dengan baik. Kaba tersebut dicatat oleh van der Toorn, dengan judul Tjindur Mato, Minangkabausch-Maleische Legende yang diterbitkan oleh Datuk Garang pada 1904. 

Tokoh-tokoh dalam kaba ini diantaranya adalah Bundo Kanduang, putri dari saudara sepupu Ananggawarman; Dang Tuanku atau Sutan Rumanduang yang merupakan Raja Pagaruyung, anak dari Bundo Kanduang; Cindua Mato, anak dari Kambang Bandahari yang merupakan saudara sepupu Bundo Kanduang; Imbang Jayo yang merupakan raja Sungai Ngiang; Puti Bungsu, tunangan Dang Tuanku; dan Tiang Bungkuak yang merupakan ayah dari Imbang Jayo.

Kaba Cindua Mato menduduki tempat yang sangat penting dalam khasanah kesusastraan tradisional Minangkabau. Kaba ini menggambarkan keadaan ideal Kerajaan Pagaruyung menurut pandangan orang Minangkabau. Sejarah terciptanya Kaba Cindua Mato diduga berasal dari abad 15 sampai awal abad 16. Diduga periode itu merupakan masa kekosongan pemerintahan di Pagaruyung sepeninggal Ananggawarman. Pada masa ini juga terjadi gejolak masyarakat yang diakibatkan oleh perpindahan kepercayaan masyarakat dari Hindu Budha menuju ke Islam. Perubahan ini mengakibatkan lunturnya dukungan masyarakat terhadap pemerintahan Pagaruyung yang otoriter dan aristokrat.

Sebagai seni susastra lisan, kaba tidak hanya menjadi media penyampaian nilai-nilai atau nasihat, tetapi juga merupakan hiburan rakyat. Kaba biasanya disampaikan pada malam hari sebagai pengantar tidur.

Tinggalkan Balasan